5 Pola Karya Puisi Elegi Bahasa Indonesia


Puisi yang sudah berkembang semenjak berabad-abad silam sudah niscaya mempunyai banyak genre. Genre-genre itu bahkan bisa mencapai puluhan genre tergantung pada periode yang diwakilinya.
Ada puisi masa pertengahan, zaman renesains, awal masa 20-an dan lain sebagainya.

Salah satu dari genre puisi gres itu ialah puisi elegi. Diambil dari bahasa Yunani “elegeia” yang berarti ratapan atau kesedihan. Tema yang selalu diangkat menyerupai rasa sedih cita atau rindu yang teramat dalam, maut bahkan hal-hal misterius. Sosok menyerupai Chairil Anwar ialah salah satu sastrawan puisi elegi. Berikut ini ialah teladan puisi elegi dalam bahasa Indonesia untuk Anda.     

1.    Hampa

       Sepi di luar. Sepi menekan mendesak
       Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
       Sampai ke puncak. Sepi memagut
       Tak satu kuasa melepas renggut
       Segala menanti. Menanti. Menanti
      
       Sepi
       Tambah ini menanti jadi mencekik
       Memberat mencekung punda
       Sampai binasa segala. Belum apa-apa
       Udara bertuba. Setan bertampik
       Ini sepi terus ada. Dan menanti

       Karya : Chairil Anwar

2.    Senja di Pelabuhan Kecil
      
       Ini kali tidak ada yang mencari cinta
       Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
       Tiang serta temali.
       Kapal, bahtera tiada berlaut
       Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

       Gerimis mempercepat kelam
       Ada juga kelepak elang menyinggung muram
       Desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan
       Tidak bergerak dan sekarang tanah air tidur hilang ombak

       Tiada lagi. Aku sendirian.
       Berjalan menyisir semenanjung
       Masih pengap harap
       Sekali tiba di ujung
       Dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat
       Sedu penghabisan bisa terdekap

       Karya : Chairil Anwar

3.    Kesaksian Akhir Abad

      Ratap tangis menerpa pintu kalbuku.
 Bau wangi darah mengganggu tidur malamku.
 O, tikar tafakur!
 O, kedaluwarsa sungai tohor yang kotor!
 Bagaimana saya akan bisa
 membaca keadaan ini?

       Di atas atap kesepian kebijaksanaan pikiran
yang digalaukan oleh lampu-lampu kota
yang bertengkar dengan malam,
saya menyerukan namamu:
wahai para leluhur Nusantara!

O, Sanjaya!
Leluhur dari kebudayaan tanah.
O, Purnawarman!
Leluhur dari kebudayaan air!
Kedua wangsamu telah mampu
mempersekutukan budaya tanah dan air!

O, Resi Kuturan! O, Resi Nirarta!
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian!
Telah kau ajarkan tatanan hidup
yang aneka dan sejahtera,
yang dijaga oleh dewan aturan adat.
O, bagaimana saya bisa mengerti bahasa bising dari
bangsaku ini?

O, Kajao Laliddo! Bintang cemerlang Tana Ugi!
Negarawan yang pandai dan bijaksana!
Telah kau ajarkan aturan permainan
di dalam benturan-benturan keinginan
yang banyak sekali ragam
di dalam kehidupan:
ade, bicara, rapang, dan wari.

O, lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-puing tatanan hidup
yang porak poranda.
Kejahatan kasatmata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berak dan berdahak
di atas bendera kebangsaan.

O, anak cucuku di zaman Cybernetic!
Bagaimana kalian akan baca prasasti dari zaman kami?
Apakah kami akan mampu
menjadi wangsit bagi kesimpulan
ataukah kami justru
menjadi sumber masalah
di dalam kehidupan?

Dengan puisi ini saya bersaksi
bahwa rakyat Indonesia belum merdeka.
Rakyat yang tanpa hak hukum
bukanlah rakyat merdeka.
Hak aturan yang tidak dilindungi
oleh forum pengadilan yang tinggi
ialah aturan yang ditulis di atas air

WS Rendra, Doa Untuk Anak Cucu, (Yogyakarta, Bentang Pustaka:2016, hlm. 34-35

4.    Sia - Sia
      
Penghabisan kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu

Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti

Sehari kita bersama. Tak gampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Februari, 1943

       Karya : Chairil Anwar

5.    Elegi Nelayan Tua

       Lelaki bau tanah itu tersengguk-sengguk di emper gubuk
       Bulan layu rendah di langit
       Air mulai surut
       dan terlena digerogoti mimpi

       Sebentar lagi subuh tiba
       Inikah harapan penghabisan seorang nelayan
       Kaki dan tangan kaku dibelasah encok
       Dada menyerupai terbakar batuk batuk batuk
      
       Berteman dengan bulan dan air surut air pasang
       Kokok ayam dan cicit murai
       Menyambut pagi
       Yang bukan lagi miliknya?

       Panorama masa kemudian tergambar di layar langit
       dengan kail memancing ikan ikan ikan
       sembilang tenggiri selar dingkis tamban jahan
       ikan ikan ikan
       pancing bubu belat kelong jala jaring

       Selamat tinggal?
       Encok yang tiba marilah kamu
       Batuk yang masuk teruskan jalanmu
       ikan-ikan masa lalu
       ikan-ikanku besok
      
       Dan pertarungan akan berlanjut
       terus!

       Karya : Idrus Tintin, Buku Waktu, 1990

Demikian beberapa teladan puisi elegi yang sudah saya tunjukkan. Silakan baca genre-genre puisi dalam artikel berikutnya. Saya ucapkan terima kasih. (dari banyak sekali sumber)


Sumber https://borneosembilandua.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tips Berguru Bahasa Inggris Mudah

Manfaat Air Putih Bagi Kesehatan

Lakukan 8 Langkah Ini Untuk Mencegah Penyakit Jantung